Catatan Redaksi

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dengan penayangan artikel dan atau berita, anda dapat juga mengirimkan artikel atau berita sanggahan dan koreksi kepada redaksi kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11 dan 12) undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email Redaksi atau Hubungi No telpon tercantum di bok redaksi

Iklan Disini

Breaking News

Sikap Profesionalisme Seorang Polwan di Polda Bali Berdampak Demosi Setahun: Menuai Kontroversi Publik, baca selengkapnya


Dokumentasi (red) foto Aipda Putu Eka, anggota Polwan Propam Polda Bali (12/7)
Radar007Bali | Denpasar — Angin panas tengah berhembus dari balik tembok megah Polda Bali. Sebuah video berdurasi pendek yang merekam peristiwa perselisihan antara dua pria, Andre dan Nyoman alias Dede, menjadi bola salju yang mengguncang institusi kepolisian di Pulau Dewata. Di tengah kegaduhan itu, sosok perempuan berseragam cokelat tua muncul. Ia adalah Aipda Putu Eka, anggota Propam Polda Bali yang kini namanya jadi perbincangan nasional.

Video tersebut telah ditonton jutaan kali. Dalam tayangan itu, tidak tampak satu pun adegan intimidasi. Tidak ada bentakan, tidak ada tekanan. Yang terlihat hanyalah seorang Polwan yang bersikap tenang, berusaha mendamaikan dua pihak yang berseteru. Namun ironis, justru Aipda Eka yang kemudian diseret ke meja sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP), dan dijatuhi sanksi demosi selama satu tahun.

Kisah ini tak berhenti di situ. Di balik vonis yang dijatuhkan, berbagai kejanggalan mulai terkuak satu per satu, seolah mengundang publik untuk tidak menutup mata atas dugaan ketidakadilan yang terjadi. Berikut adalah rangkaian fakta yang menimbulkan tanda tanya besar:

1. Saksi Kunci Tak Dihadirkan

Dalam sidang KKEP terhadap Aipda Eka, Nyoman alias Dede—pihak yang terlibat langsung dalam pertikaian dengan Andre Sula—tidak dihadirkan sebagai saksi. Padahal, peristiwa itu bermula dari konflik antara keduanya. Tanpa kehadiran Dede, bagaimana kebenaran bisa disusun secara utuh?

2. Dugaan Motif Pribadi Menjatuhkan Martabat Polwan

Desas-desus beredar bahwa ada niatan tersembunyi untuk menjatuhkan nama baik Aipda Eka. Isu adanya hubungan asmara antara Aipda Eka dan Dede menjadi bumbu gosip yang kini justru berpotensi menjadi alasan tak kasat mata dalam penjatuhan sanksi. Jika benar demikian, maka ini bukan lagi penegakan kode etik, melainkan pelanggaran terhadap hak moral seorang anggota Polri.

3. Kepemimpinan Yang Tidak Menghadirkan Perlindungan

Polda Bali sebagai institusi seharusnya mampu memberikan ruang keadilan bagi setiap anggotanya. Termasuk dengan menghadirkan saksi-saksi yang bisa membela. Namun, Nyoman/Dede justru absen dalam pembelaan. Aipda Eka seolah berjalan sendiri, menanti vonis dari institusi yang seharusnya membelanya.

4. Kejanggalan Proses: Mengapa Lebih Cepat dari Kasus Lain?

Sidang etik terhadap Aipda Eka berlangsung dengan kecepatan mencurigakan. Padahal, kasus Ipda Haris Budiono Cs, yang memiliki dampak lebih besar, justru berjalan lamban. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ada kesan terburu-buru dalam menjatuhkan sanksi pada seorang Polwan yang hanya berusaha melerai?

Suara Tegas dari Pimpinan Media Nasional, Warsito, Direktur Utama PT Berita Istana Negara, tak tinggal diam melihat proses yang dinilainya tidak adil. Ia dengan tegas menyuarakan bahwa tidak seharusnya Aipda Eka disidangkan dalam forum etik karena tidak ada pelanggaran nyata yang terjadi.

Saya sudah menyaksikan videonya berkali-kali. Tidak ada intimidasi. Tidak ada kata kasar. Yang dilakukan Aipda Eka hanya menasihati dan melerai. Justru itu mencerminkan sikap profesional sebagai anggota kepolisian. Kalau seperti ini, apa gunanya rekaman video jika fakta diabaikan?” tegas Warsito dalam wawancara eksklusif, Sabtu (12/7/2025).

Warsito juga mengkritik keras penyidik Paminal Unit 3 Propam Polda Bali yang dinilai memaksakan perkara ini agar Aipda Eka terbukti bersalah. Ia mendesak agar Kapolda Bali dan Mabes Polri turun tangan mengevaluasi penanganan kasus tersebut.


Harapan Keadilan untuk Polwan yang Menjadi Korban Sistem, Kisah Aipda Eka kini bukan hanya menjadi potret seorang Polwan yang dijatuhi sanksi, tapi juga simbol dari problem struktural yang masih membayang-bayangi tubuh institusi hukum: ketimpangan, bias gender, dan minimnya perlindungan internal. Masyarakat dan media pun berharap agar kebenaran ditegakkan, bukan hanya berdasarkan interpretasi sepihak, tetapi berdasar fakta dan keadilan.


Kasus ini masih menjadi perbincangan hangat. Satu hal yang pasti, publik kini menanti langkah tegas dari Polda Bali dan Polri:
Akankah mereka berani merevisi kesalahan, atau membiarkan ketidakadilan terus berjalan dalam diam?.”

(Tim)
© Copyright 2022 - Radar007